Jumat, 14 November 2014

Desa yang jauh di dalam dasar hati


Bukit bulan ? Wow. ..

Sebuah rentetan desa-desa yang masih alami dengan masyarakatnya yang akrab, damai, rukun dan saling berbagi satu sama lainnya. hasil pertanian yang melimpah dengan sawah-sawa tanpa pupuk dan pestisida yang ada di Kecematan Limun,  Kabupaten Sarolangun tepatnya Provinsi dimana saya dilahirkan dan saya cintai yaitu Jambi.
Suda sembilan tahun tepatnya saya tidak kesana, dulu saya sempat bersekolah di sana hingga menginjak kelas 3 SD, desa Mersip tengah namanya tempat dimana Ibu saya bertugas di SD tersebut.

karna saya bertempat tinggal di perumahan SD saya mengenal betul lingkungan yang ada di sekitar rumah. seperti lereng gua-gua yang ada di belakang SD yang tingginya seperti tumpukan-tumpukan gedung perkotaan yang ada di kota jakarta, yang setiap siangnya setelah kami melewati untuk mandi bersama teman-teman di sungai di samping sawah.
berlarian melewati lorong-lorong gua yang didalamnya begitu indahnya dan sesekali saya di biarkan sendiri di tinggal oleh teman-teman karna keasikan melihat pesona indahnya ciptaan Allah ini.

hari ini tepatnya tanggal 20 juli 2014 karna libur kuliah dengan kedua teman saya yaitu joni dan otop untuk menuju kesana.
jalan berdebu, lubang, kiri dan kanan dengan curmnya..
huaa. . berjalan serasa di atas awan..
gak percaya, ini buktinya.


































seperti ini lah perjalanan yang kami jalani pada hari ini, kira-kira para pembaca bisa banyangin gak perjalanan yang keluarga saya  dan masyarakat yang disana untuk kesana pada 17 tahun yang lalu. sedangkan sekarang perjalanan masi seperti ini dengan tanah kuning keemasannya yang biasa ketika musim hujan akan sangat licin dengan curam yang siap sedia menerkam dari sisi kiri dan kanan.

















jelang sekitar 4 jam perjalanan yang kamii jalani dengan semangat para petualang, haa. .
semuanya terbalas dengan keindahan alam Bukit Bulan. 
















bersambung. . .

Kamis, 13 November 2014

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DALAM ERA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK

Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. [1]
Namun di sisi lain, menurut anggota Komisi X DPR RI, Nasrullah Larada, nasib dunia pendidikan di Indonesia tidaklah semulus pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, anggaran 20 persen untuk pendidikan dari total APBN, belum mampu dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan pendidikan. Sehingga wajar jika di daerah-daerah masih banyak disaksikan kondisi fisik sekolah yang sangat memprihatinkan baik di tingkat dasar hingga menengah. Batuan Operasional Sekolah (BOS) dan kampanye sekolah gratis, bukan menambah kualitas dan mutu peserta didik. Melainkan justru memperburuk jaminan kualitas pendidikan ke depan.[2]
Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin, 2012), menyebutkan bahwa sekitar 1,3 juta lulusan sekolah dari SD hingga Sarjana, berpotensi menganggur akibat tidak seimbangnya jumlah lulusan dan ketersediaan lapangan kerja.. Kemudian merujuk Survey UNDP 2012, kualifikasi sumber daya manusia Indonesia berada di nomor urut 121, Index Kualitas Pendidikan (Education Development Index, EDI) Indonesia adalah 0.577, tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN.
Padahal pada tahun 2015 integrasi kawasan perdagangan bebas ASEAN akan dimulai. Maka tidak ada pilihan kecuali menyiapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang siap dan kompetitif, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dinikmati pertama-tama oleh warga negaranya dan bukan oleh para pekerja asing yang kelak akan membanjiri negeri ini. Oleh karena itu, dibutuhkan peran civil society yang dapat mendorong Pemerintah untuk menyiapkan kebijakan di bidang pendidikan yang membangun daya saing, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Civil Society harus berperan dalam mengubah paradigma pendidikan, dari sekedar mencerdaskan bangsa, menjadi senjata untuk membangun perilaku, sikap mental, budaya, dan karakter unggul, serta peduli terhadap sesama, lingkungan dan sosial.[3]
Ketika memutuskan untuk maju sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden tahun ini, Jokowi mencetuskan "revolusi mental". suatu strategi untuk membangun karakter bangsa, yang dapat mencegah dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta sikap intoleran terhadap perbedaan, yang selama ini masih ada dalam budaya Indonesia.
Jokowi juga menyatakan pembangunan karakter bangsa tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan. Untuk mendukung pengembangan sektor pendidikan dan kesehatan, Jokowi mengatakan akan membuat program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, seperti yang pernah dilakukan di DKI Jakarta. Jokowi juga mengatakan dia akan mengimplementasikan e-governance sebagai upaya untuk mengurangi korupsi di birokrasi.[4]
Untuk mengembalikan jalan ideologi bangsa, Jokowi-JK menawarkan konsep Trisakti. Jalan Trisakti menjadi basis dalam pembangunan karakter bangsa ke depan. Joko Widodo-Jusuf Kalla membuat sembilan agenda prioritas yang disebut Nawa Cita. Salah satu prioritasnya adalah melakukan revolusi karakter bangsa.
Revolusi karakter bangsa, menurut Jokowi-JK dilakukan melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Yang mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme, dan cinta tanah air. Pasangan ini juga akan mengevaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional. Termasuk penyeragaman UAN dan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional.[5]
Anggota Tim Sukses Jokowi-JK, Rokhmin Dahuri, mengatakan Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN beserta empat negara lain mempunyai posisi yang cukup strategis di ASEAN. Bahkan Indonesia dianggap sebagai big brother di ASEAN. Joko Widodo-Jusuf Kalla, bakal melakukan reformasi di bidang pendidikan. Hal itu untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.[6]
Hasil riset "The Indonesia Institute" mengenai jaminan sosial menyebutkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih berpengalaman dalam pemberian jaminan sosial bidang pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar. Peneliti TII Arfianto Purbolaksono, Dia mengatakan pasangan Jokowi-JK memiliki program yang dinamakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), merupakan kelanjutan dari KJP yang telah dilakukan Jokowi. Menurut dia, program KJP selama dua tahun ini memiliki kekurangan dan kelebihan namun dapat dijadikan tolak ukur pelaksanaan KIP. Program jaminan sosial merupakan kewajiban negara namun dalam pelaksanaannya diperlukan manajemen kontrol dan pengawasan agar program tersebut tepat sasaran.[7]
Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang menjadi salah satu program utama Joko Widodo kini harus dihentikan sementara. Pasalnya, dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan siswa yang berasal dari keluarga mampu menerima KJP yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi keluarga tidak mampu. menutur Kepala Sudin Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas), Sujadiyono, selama KJP dijalankan pihaknya menemukan sejumlah kelemahan terkait dengan siswa mampu yang tidak seharusnya mendapatkan bantuan pendidika.[8]
Kepala Dinas Pendidikan DKI Lasro Marbun mengungkapkan, kebutuhan dana untuk Kartu Jakarta Pintar (KJP) tahun 2014 mencapai Rp 1,4 triliun. Namun, yang dianggarkan baru sebesar Rp 723,32 miliar, untuk memastikan penerima KJP tepat sasaran, pihaknya pun melakukan verifikasi data. Hal itu dilakukan agar dapat diketahui jumlah anggaran tambahan yang dibutuhkan. penyaluran dana penerima KJP memang banyak salah sasaran. Sementara, sesuai Peraturan Mendagri (Permendagri) No 32 Tahun 2011 dan Permendagri No 39 Tahun 2011 Pasal 36 disebutkan permohonan dana hibah dan bansos harus dilakukan pengajuan per tahun. Karena itu, pihaknya saat ini sedang melakukan pendataan dan verifikasi ulang penerima KJP.[9]
Sejumlah pengamat menyebutkan kelemahan Jokowi adalah dia minim pengalaman memimpin di tingkat nasional dan hubungan internasional.[10]  Menurut Sekretaris Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hankam, Letjen TNI Purn Romulo Simbolon, cawapres Jusuf Kalla (JK) pernah mengatakan bisa rusak negara ini bila dipimpin oleh Jokowi. Gubernur Jakarta nonaktif itu tidak akan dapat bertahan lama sebagai presiden bukan semata karena factor goyangan dari luar. Tapi justru karena faktor goncangan dari dalam parpol pendukungnya. Namun dalam menjalankan roda pemerintahan, presiden terpilih harus mendapat dukungan politik dari partai di parlemen menjadi hal lain yang tersendiri.[11]