Perkembangan zaman selalu
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pendidikan
mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Penyelesaian masalah
pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus
ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak
hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika
kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR
besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah
pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan
terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak
Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan
yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan
yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. [1]
Namun di sisi lain,
menurut anggota Komisi X DPR RI, Nasrullah Larada, nasib dunia pendidikan di
Indonesia tidaklah semulus pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, anggaran 20 persen
untuk pendidikan dari total APBN, belum mampu dimanfaatkan secara maksimal
untuk kepentingan pendidikan. Sehingga wajar jika di daerah-daerah masih banyak
disaksikan kondisi fisik sekolah yang sangat memprihatinkan baik di tingkat
dasar hingga menengah. Batuan Operasional Sekolah (BOS) dan kampanye sekolah
gratis, bukan menambah kualitas dan mutu peserta didik. Melainkan justru
memperburuk jaminan kualitas pendidikan ke depan.[2]
Data dari Kamar Dagang
dan Industri Indonesia (Kadin, 2012), menyebutkan bahwa sekitar 1,3 juta
lulusan sekolah dari SD hingga Sarjana, berpotensi menganggur akibat tidak
seimbangnya jumlah lulusan dan ketersediaan lapangan kerja.. Kemudian merujuk
Survey UNDP 2012, kualifikasi sumber daya manusia Indonesia berada di nomor
urut 121, Index Kualitas Pendidikan (Education Development Index, EDI)
Indonesia adalah 0.577, tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga di
ASEAN.
Padahal pada tahun 2015
integrasi kawasan perdagangan bebas ASEAN akan dimulai. Maka tidak ada pilihan
kecuali menyiapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang siap dan
kompetitif, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dinikmati pertama-tama oleh
warga negaranya dan bukan oleh para pekerja asing yang kelak akan membanjiri
negeri ini. Oleh
karena itu, dibutuhkan peran civil society yang dapat mendorong Pemerintah
untuk menyiapkan kebijakan di bidang pendidikan yang membangun daya saing,
mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Civil Society
harus berperan dalam mengubah paradigma pendidikan, dari sekedar mencerdaskan
bangsa, menjadi senjata untuk membangun perilaku, sikap mental, budaya, dan
karakter unggul, serta peduli terhadap sesama, lingkungan dan sosial.[3]
Ketika memutuskan untuk maju sebagai
calon presiden dalam pemilihan presiden tahun ini, Jokowi mencetuskan
"revolusi mental". suatu strategi untuk membangun karakter bangsa,
yang dapat mencegah dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta sikap
intoleran terhadap perbedaan, yang selama ini masih ada dalam budaya Indonesia.
Jokowi juga menyatakan pembangunan karakter bangsa tersebut
dapat dilakukan melalui pendidikan. Untuk mendukung pengembangan sektor
pendidikan dan kesehatan, Jokowi mengatakan akan membuat program Kartu Indonesia
Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, seperti yang pernah dilakukan di DKI Jakarta. Jokowi juga mengatakan dia akan
mengimplementasikan e-governance sebagai
upaya untuk mengurangi korupsi di birokrasi.[4]
Untuk
mengembalikan jalan ideologi bangsa, Jokowi-JK menawarkan konsep Trisakti.
Jalan Trisakti menjadi basis dalam pembangunan karakter bangsa ke depan. Joko
Widodo-Jusuf Kalla membuat sembilan agenda prioritas yang disebut Nawa Cita.
Salah satu prioritasnya adalah melakukan revolusi karakter bangsa.
Revolusi
karakter bangsa, menurut Jokowi-JK dilakukan melalui kebijakan penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional. Yang mengedepankan aspek pendidikan
kewarganegaraan. Yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan seperti
pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme, dan cinta tanah
air. Pasangan ini juga akan mengevaluasi model penyeragaman dalam
sistem pendidikan nasional. Termasuk penyeragaman UAN dan pembentukan kurikulum
yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional.[5]
Anggota
Tim Sukses Jokowi-JK, Rokhmin Dahuri, mengatakan Indonesia sebagai salah satu
pendiri ASEAN beserta empat negara lain mempunyai posisi yang cukup strategis
di ASEAN. Bahkan Indonesia dianggap sebagai big brother di ASEAN. Joko Widodo-Jusuf Kalla, bakal
melakukan reformasi di bidang pendidikan. Hal itu untuk meningkatkan daya saing
sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015.[6]
Hasil riset "The Indonesia
Institute" mengenai jaminan sosial menyebutkan pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla lebih berpengalaman dalam pemberian jaminan sosial bidang pendidikan
melalui Kartu Jakarta Pintar. Peneliti TII Arfianto Purbolaksono, Dia
mengatakan pasangan Jokowi-JK memiliki program yang dinamakan Kartu Indonesia
Pintar (KIP), merupakan kelanjutan dari KJP yang telah dilakukan Jokowi.
Menurut dia, program KJP selama dua tahun ini memiliki kekurangan dan kelebihan
namun dapat dijadikan tolak ukur pelaksanaan KIP. Program jaminan sosial
merupakan kewajiban negara namun dalam pelaksanaannya diperlukan manajemen
kontrol dan pengawasan agar program tersebut tepat sasaran.[7]
Kartu Jakarta Pintar
(KJP) yang menjadi salah satu program utama Joko Widodo kini harus dihentikan
sementara. Pasalnya, dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan siswa yang
berasal dari keluarga mampu menerima KJP yang seharusnya hanya diperuntukkan
bagi keluarga tidak mampu. menutur Kepala Sudin Dinas Pendidikan Dasar
(Dikdas), Sujadiyono, selama KJP dijalankan pihaknya menemukan sejumlah kelemahan
terkait dengan siswa mampu yang tidak seharusnya mendapatkan bantuan pendidika.[8]
Kepala Dinas Pendidikan
DKI Lasro Marbun mengungkapkan, kebutuhan dana untuk Kartu Jakarta Pintar (KJP)
tahun 2014 mencapai Rp 1,4 triliun. Namun, yang dianggarkan baru sebesar Rp
723,32 miliar, untuk memastikan penerima KJP tepat sasaran, pihaknya pun
melakukan verifikasi data. Hal itu dilakukan agar dapat diketahui jumlah anggaran
tambahan yang dibutuhkan. penyaluran dana penerima KJP memang banyak salah
sasaran. Sementara, sesuai Peraturan Mendagri (Permendagri) No 32 Tahun 2011
dan Permendagri No 39 Tahun 2011 Pasal 36 disebutkan permohonan dana hibah dan
bansos harus dilakukan pengajuan per tahun. Karena itu, pihaknya saat ini
sedang melakukan pendataan dan verifikasi ulang penerima KJP.[9]
Sejumlah pengamat
menyebutkan kelemahan Jokowi adalah dia minim pengalaman memimpin di tingkat
nasional dan hubungan internasional.[10] Menurut Sekretaris Dewan Pertimbangan Presiden Bidang
Hankam, Letjen TNI Purn Romulo Simbolon, cawapres Jusuf Kalla (JK) pernah
mengatakan bisa rusak negara ini bila dipimpin oleh Jokowi. Gubernur Jakarta
nonaktif itu tidak akan dapat bertahan lama sebagai presiden bukan semata
karena factor goyangan dari luar. Tapi justru karena faktor goncangan dari
dalam parpol pendukungnya. Namun dalam menjalankan roda pemerintahan, presiden
terpilih harus mendapat dukungan politik dari partai di parlemen menjadi hal
lain yang tersendiri.[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar