Tingginya angka kekerasan dan
eksploitasi terhadap anak menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Diduga
kuat, maraknya kasus anak karena paradigma salah dalam mendidik anak yang jadi
budaya. Saat ini banyak yang beranggapan jika ingin mendidik anak jadi disiplin
dan baik harus dengan cara dipukul atau dimarahi. Paradigma semacam itu masih
sangat melekat dalam lingkungan keluarga Indonesia. Tak heran jika angka
kekerasan pada anak terus bertambah. Jika kekerasan ini tidak segera
dihentikan, bukan tidak mungkin generasi muda ke depan akan melahirkan anak
muda yang menonjolkan kekerasan dibanding intelektual.
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik,
seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (CDC) mendefinisikan penganiayaan anak sebagai setiap
tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian oleh orang tua atau
pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau berpotensi bahaya,
atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. Sebagian besar terjadi
kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih
kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak
berinteraksi.
Menurut Sekertaris Jenderal Komnas
Anak Samsul Ridwan, angka pengaduan kasus pelanggaran hak anak meningkat tajam
dibandingkan tahun lalu. Dan sepanjang tahun 2013 masih didominasi oleh
kekerasan terhadap anak."Jumlah pengaduan yang kami terima meningkat saat
ini telah diterima laporan sebanyak 3.023. Angka ini menunjukan 60 persen
terjadi peningkatan dibandingkan tahun lalu. Dan kasus kekeraaan terhadap anak
masih mendominasi," kata Samsul, Jakarta, Jumat (20/12/2013). Tahun 2013
ini kasusnya ada 1.620 dengan rincian kekerasan fisik 490 kasus (30 persen),
psikis 313 kasus (19 persen), dan paling banyak kekerasan seksual 817 kasus (51
persen). Artinya setiap bulannya hampir 70-80 anak menerima kekerasan
seksual," Sedangkan kasus fisik berlatar belakang kenakalan anak 80 kasus
(8 persen), dendam atau emosi 147 kasus (14 persen), ekonomi 62 kasus (6
persen), persoalan keluarga 50 kasus (5 persen) dan lain-lain 145 kasus (14
persen).
Salah satunya adalalah kasus pada
Iqbal yang di rawat di RSUD Koja, Jakarta utara. Ia mengalami luka-luka
mengenaskan di sekujur tubuhnya yang dipukul, dipaksa mengemin dan mengamen,
bahkan lidahnya dipotong, disundut rokok oleh Dadang yang dilatar belakangi
oleh kekesalan dengan ibun Iqbal karena menolak cintanya. Dengan hal ini dengan
mudahnya orang-orang untuk melakukan kekerasan kepada anak, padahal masa
kanak-kanak adalah wajib untuk dilindungi bukan sebagai ketakutan untuk mereka
dan anak-anak adalah calon penerus generasi bangsa dan sebagai indikator
kemajuan, gambaran dari suatu bangsa.
Untuk mengatasi masalah tersebut
menurut Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait sudah menjadi tanggung jawab
bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah serta negara. "Kasus
ini menjadi tanggung jawab bersama, semua pihak perlu mengawasi dan membantu
mengatasi serta mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap anak," kata
Arist.
Kak Seto menyarankan di setiap RT
dan RW harus ada Satgas Perlindungan Anak. Satgas ini yang melaporkan pada
instansi terkait jika terjadi kekerasan di lingkungannya.
semoga dengan banyaknya kasus
kekerasan yang ada di Indonesia terutama kepada anak, menjadi peratian oleh
pemerinta, sehingga anak bangsa bisa hidup aman dan nyaman dalam beraktifitas. "Arie Anggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar