Senin, 28 Januari 2019

Pesona Alam Baduy di Ujung Kota Jakarta



Selama di Jakarta kampung Baduy adalah destinasi yang aku catat dalam pikiranku, Alhamdulillah mimpi itupun tercapai.
Kisah ini bermulah dari obrolan kecil yang akhirnya di temukan dengan orang-orang yang tidak dikenal, mereka satu keluarga besar yang kompak penuh ceria. Mungkin serpihan mimpi ini akan ku tulis sebagai pengingat ketika aku memiliki keluarga yang cukup besar dan mengajak mereka bersama-sama seperti keluarga ini.



Hari itu seperti biasanya saya bermain ke warung Om Hadi sambil ngobrol politik, maklum lagi bulan-bulan dan tahunya nya politik, Om Hadi sesekalai memberi wejangan semangat apalagi di eranya akhir Zaman di tenga-tengahnya gemerlap kota Ibu Kota.


Om, hadi menunjukan Chat Group Whatsapp keluarganya yang berencana untuk mengunjungi perkampungan orang-orang Baduy di Provinsi Banten, tepatnya Kabupaten Lebak Banten pada tanggal 26-27 Januari 2018.
Akupun menceritakan tentang harapan itu untuk mengunjungi Kampung Baduy dan Om Hadi menawarkan ajakan untuk kesana. Sebenanya tanggal 26-27 merukan hari kerja di kantor, tanpa pikir panjang saya mencoba menghubungi rekan kerja untuk bertukar pikiran untuk mengajukan pindah shift kerja.
Singkat cerita karna alasan keluarga, Om Hadi tidak bisa pergi kesana dan Ia tetap menyarankan saya tetap ikut dengan menghubungi Om Endang, menimbang-nimbang akhirnya aku mendorong diriku untuk ikut kekampung Baduy. Semalam sebelum keberangkatan saya menghubungi Om Endang untuk ikut join trip kebaduy bersama keluarga besarnya.
Itulah latar belakang cerita singkat perjalanan ini hehee, semoga bermanfaat.

****

persiapan keberangkatan
Tanggal 26 Januari 2019 perjalanan ini dimulai dari Stasiun pondok Ranji ke Rangkas Bitung bersama-sama rombongan keluarga Om Endang pada pukul 8.00 Wib dengan kereta Comuterline  Tanah Abang – Rangkas Bitung, ongkosnya lumayan murah, hanya 7.000 rupiah. 


Jembatan Akar
Pukul 9.10 kami sampai di stasiun Rangkas Bitung, dan berjalan ke Terminal Rangkas Bitung untuk menaiki mobil pesanan Om Endang untuk menuju Destinasi Jembatan Akar dengan menggunakan angkutan Umum, mobil Elf. Tepat Jam 13.00 kami sampai diperkampungan, dan kami harus melanjutkan perjalanan selama dua jam untuk mengunjungi Jembatan Akar.

Perjalanan ke Jembatan Akar



Perjalanan ini melalui jalanan kerikil bebatuan dan dilanjutkan dengan perjalanan perkebunan, kiri kanan kulihat saja banyak pohon Durian hehe bukan pohon Cemara.





Hasil bumi kampung Baduy
Kata Om Endang, kami telat 2 minggu dari musim durian, karan yang terlihat hanyalah daun durian dan satu dua buah durian yang masih bergelantungan. Tetapi kami masih bisa untuk mencoba durian yang masih banyak dari para penjual-penjual yang berjalan keluar masuk hutan dengan memikul durian dari dalam hutan.

Alam baduy memang begitu suburnya, saya begitu heran kenapa banyaknya rambutan dihutan tidak ada yang mau mengambilnya, ternyata rambutannya melimpah ruah, hasil buminya juga banyak seperti Petai, Pisang dan hasil pertanian lainnya.

Perjalanan ke Terminal Ciboleger
Setelah mengunjungi Jembatan akar kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Mobil Elf ke Terminal Ciboleger.

Dari arah luar terminal hasil tangan masyarakat Baduy sudah terlihat disini, dibibir terminal seperti kain tenun, mainan kunci, gelang, baju batik baduy, dll.

Kami melanjutkan perjalanan ke dalam hutan untuk menuju perkampungan baduy yaitu Kampung Balingbing, Bukan Balimbing ya, masyarakat disini menyebutnya masih Baduy luar yang kurang lebih 2 KM dari terminal Ciboleger. Perjalanannya seperti jalan setapak dengan susunan bebatuan alam.

Kata Om Endang, untuk mengunjungi Baduy dalam harus menempuh perjalanan selama 6 Jam atau 7 Km perjalanan. Menurutku Baduy luarpun juga cukup jauh perjalanannya wkwkw.
Selain dikelilingi oleh hutan layaknya seperti perjalanan mendaki sebuh gunung, perjalanan ke kampung badui ya Naik turun Bukit.

Proses penenunan
Kami tiba di Kampung Balingbing kurang lebih jam 17.30 Wib, kami tinggal bersama dengan orang-orang Badui di sebuah rumah panggung setinggi kurang lebih 50 - 70 cm dari tanah.

sayapun masih menunggu bagaimana orang-orang baduy menyambut sunyinya dan gelapnya malam di kampung Baduy. Permukiman warga Baduy gelap gulita tanpa Obor, lampu damar ataupun lampu-lampu lainnya. Hanya mereka menggunakan Center sebagai penerangan untuk berjalan ditengah malam ataupun untuk kedapur. 
Inilah kehidupan dikampung Baduy yang yang nyaman dan tentram yang terlepas dari hiruk pikuk dari binger-bingar kehidupan dunia.

Karana kelelahan, kamipun terlelap pada pukul 20.00 malam dan terbangunkan oleh aktifitas-aktifitas masyarakat badui di waktu subuh, alhamdulillah dari pengakuan beberapa orang-orang badui mereka sebenarnya adalah muslim.

Perjalanan Pulang Keluarga Cemara
Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, kami mengunjungi berepa kampung yang berada di ujung kampung Balingbing, sambil melihat masyarakat Badui menenun kain dan menjajakan kerajinan mereka kepada Kami.

Rabu, 16 Januari 2019

A Letter to Bintang


Aku terbiasa hidup di samudra dengan ombak yang begitu kencang. Semasa kecil aku suka melihat bintang, menghabiskan kesendirian sambil menatap langit berharap sang bintang datang walaupun dalam keadaan hujan badai, aku masih tetap menunggu dan tetap berharap bintang akan datang berkelip-kelip.
Tentunya kisah ini bukan cerita pungguk merindukan bintang, eh bulan maksutnya. Dan aku bukanlah pungguk.

Namaku adalah Laut, Lautan.
Ingin rasanya berada disana disamping sang bintang untuk melihat betapa indanya bumi ini diciptakan dan aku bisa semakin mengingat-Nya. Dan mungkin aku bisa melihat sahabat-sahabat ku yaitu pasir pantai, bebatuan, karang, pegunungan dan serta sahabat-sahabtku di sisi bumi lainnya.
Tapi apa daya aku tidak bisa kesana.
beberapa teman-temanku bisa mengaungi samudra, tapi ombak yang ganas membuatku tak bisa sampai.
Semangat itu sesekali timbul kalau aku melihat bintang.


Hey, kau tak tahu betapa cemburunya aku melihat mu tinggi disana disanping sang bulan. Tiap malam ketika aku bersahaja dengan lelahku sampai tersapu dibibir pantai, duduk di sela-sela pasir. Ingin sekali rasanya melihat dari dekat dan bercerita bnyak tentang keseharianku menghabiskan malam disamping mu.


Aku terlalu memikirkanmu, berharap selalu disampingmu.
Dan kita tahu itu, jarak memisahkan kita dan waktupun menjaga kita.
Tetapi aku berfikir lagi, itu nafsu. Aku takut ini terlalu berlebih-lebihan.

maaf, terkadang aku selalu bercerita kepada Awan. Ya, Ia awan biru. Aku selalu melihat awan biru, aku selalu tersenyum melihat awan ketika aku lelah memikirkan dunia, tetapi aku tidak memiliki rasa.
Kadang-kadang aku biarkan sang awan tertiup angin kemanapun arahnya bersingga, aku biarkan itu terjadi, karna aku ingin alami seperti mana peruntuknya.
Jangan memikirkanku, tetaplah maju..
Masih ada pantai yang menghiburku, masih ada gunug yang iseng mengganggu ku, dan masih ada karang yang sekarng musuhku mungkin teman hidupku.

Tetaplah merona berkelip bintang dan kau harus pastikan itu, karna waktu akan terus berjalan.
Aku suka melihatmu berkeli-kelip dari kejauhan.

Salam,
Lautan, Arie Anggara.